Friday, March 30, 2012

Polisi dan Pengunjuk Rasa Adu Otot, Salah Siapa?

KOMPAS/RADITYA HELABUMISeorang demonstran terjatuh saat polisi keluar dari dalam halaman Gedung DPR/MPR di Jakarta untuk membubarkan unjuk rasa mahasiswa dari berbagai universitas yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak, Kamis (29/3/2012). Polisi menghalau mahasiswa hingga ke arah Slipi untuk membubarkan aksi mahasiswa tersebut.     
\
JAKARTA, KOMPAS.com - Berbagai aksi unjuk rasa dilakukan elemen masyarakat untuk menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Aksi ini ada yang dilakukan dengan damai, tapi ada juga yang berujung pada kericuhan dan perilaku vandalisme baik dari polisi maupun pengunjuk rasa. Salah siapakah semua ini?
Masa polisi akan menyambut pengunjuk rasa dengan senyum ramah ketika mereka merusak dan melempar batu.
Menurut Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, ada indikasi ketidakadilan dari pandangan publik terhadap aksi kekerasan dalam unjuk rasa. Polisi seringkali disalahkan sebagai pihak yang melakukan kekerasan. Padahal, di sisi lain sebagian pengunjuk rasa juga turut andil menjadi pelaku kekerasan.
Dalam aksinya, demonstran tidak hanya membawa spanduk dan bendera, tapi juga kayu dan barang lain yang bisa dipakai dalam aksi mereka. Barang-barang itu kerap digunakan sebagai senjata. Batu menjadi pilihan terakhir untuk melempari aparat maupun merusak fasilitas umum yang ada di sekitarnya.
"Saya memang melihat ada semacam ketidakadilan dalam aksi-aksi unjuk rasa penolakan BBM ini. Kalau pengunjuk rasa bersikap destruktif, mau tidak mau polisi juga tidak bisa tinggal diam," ujar Adrianus saat dihubungi Kompas.com, Jumat (30/3/2012).
Namun, ia juga tak menutup mata bahwa polisi memang juga melakukan kekerasan terhadap pengunjuk rasa. "Kita juga tidak bisa bilang bahwa polisi itu benar. Mereka juga terkadang bersikap arogan dalam mengamankan aksi," sambungnya.
Adrianus memandang aksi ricuh yang dilakukan pengunjuk rasa juga bukan tanpa sebab. Secara psikologis, kata dia, pengunjuk rasa berani berbuat apa saja karena mereka tidak sendiri, melainkan saling mendukung antar satu dengan yang lain. Aksi melempar batu dan merusak fasilitas ini biasa dilakukan karena tak ada diantara mereka yang melarang satu sama lain.
"Ketika mereka masuk dalam sebuah kelompok besar, mereka jadi memiliki jiwa kelompok. Mereka merasa seolah mendapatkan keberanian, melakukan tindakan kekerasan dan pengrusakan apapun, karena merasa mendapat dukungan dari kelompoknya. Merasa ada teman," jelasnya.
Ia pun mengingatkan para pengunjuk rasa agar menyadari resikonya jika mereka melakukan aksi kekerasan, ricuh dan pengrusakan. Menurutnya, banyak aksi unjuk rasa berakhir dengan damai. Harusnya hal tersebut dapat dicontoh para pengunjuk rasa yang anarkis.
"Kalau kita unjuk rasa dengan aksi kekerasan, ya harus tahu resikonya. Masa polisi akan menyambut pengunjuk rasa dengan senyum ramah ketika mereka merusak dan melempar batu. Kalau persuasif tidak bisa ya harus tindakan tegas," ujarnya.
Ganti Peluru dengan Air
Sementara itu, Yesmil Anwar, kriminolog dari Universitas Padjajaran Bandung memiliki pandangan sendiri mengenai aksi unjuk rasa yang diakhiri adu otot antara polisi dan pengunjuk rasa. Menurutnya, dalam Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Nomor 9 tahun 1998, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 tahun 1999 telah tertulis dengan jelas bagaiman hak untuk mengungkapkan pendapat dan prosedurnya.
Namun baik pengunjuk rasa maupun polisi, tak peduli pada aturan yang berlaku. Hal ini mengakibatkan dua belah pihak cenderung bersikap semaunya. "Dua belah pihak sama-sama cuek. Pengunjuk rasa ada yang enggak peduli aturan. Polisinya juga harusnya bisa mencegah. Penegakan hukum kan bukan hanya bertindak keras, tapi juga mencegah sebelum aksi terus berlanjut," kata Yesmil saat dihubungi Kompas.com.
Selain sikap tak peduli, menurut Yesmil, kultur demokrasi di Indonesia juga sudah terlanjur rusak karena belajar dari masa lalu yang oenuh aksi-aksi ricuh dalam menyampaikan pendapat, termasuk aksi kekerasan yang dilakukan polisi ketika menjaga unjuk rasa. Kultur ini yang, kata dia, susah dihilangkan.
"Lama-kelamaan jadi demokrasi dengan kekerasan dan tidak secara intelektual. Cenderung karena mengutamakan ingin menyampaikan pendapat tapi dengan cara yang tidak beradab. Mengatasnamakan demokrasi, tapi caranya tidak sesuai," tegasnya.
Kekerasan yang terjadi antara dua belah pihak ini ia ibaratkan seperti telur dan ayam. Kadang mereka tak menyadari siapa yang mengawali kericuhan. "Ya sudah seperti telur dan ayam. Dua-duanya berbuat, jadi tidak tahu siapa yang duluan mengawali," ujarnya.
Terakhir, kata Yesmil, untuk menghindari adu jotos polisi dan pengunjuk rasa, alangkah baiknya polisi memperbanyak penggunaan water canon dalam menghentikan aksi anarkis massa. Ini akan membantu mengulur waktu agar kedua belah pihak dapat berkonsolidasi meredam kericuhan. Peluru tajam dan peluru karet, hanya akan menambah amuk massa yang merasa terintimidasi.
"Lihatlah di beberapa negara di Eropa. Mereka justru perbanyak water canon. Pakai saja itu, daripada peluru tajam dan peluru karet yang identik dengan kekerasan dan pelanggaran HAM. Semua aksi bisa berjalan damai, jika semua sadar hak dan kewajibannya," katanya.                             

No comments:

Post a Comment